Petikan dari buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Disusun oleh Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR Periode 2009-2014
Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV dimasa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” [Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua]. Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak) dan tular (terpangaruh), dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh siapapun (Suhandi Sigit, 2011).
Ungkapan dalam bahasa jawa kuno tersebut,
secara harfiah mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) yaitu beragam satu itu. Doktrin
yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan agar antara agama Buddha (Jina)
dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmonis,
sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal
(satu). Mpu Tantular sendiri adalah penganut Buddha Tantrayana, tetapi merasa
aman hidup dalam Kerajaan Majapahit yang lebih bercorak Hindu (Ma’arif A. Syafii,
2011).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi
perbincangan terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa
dalam siding-sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M. A.B,
2004). Bahwa Bung Hatta
sendiri mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno setelah
Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika merancang Lambang
Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang tersebut dipakai
dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada
11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II
(1913-1978). Dalam sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang
Negara, kemudian yang dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan
Muhammad Yamin, dan rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para
pendiri bangsa diberikan penafsiran baru karena dinilai relevan dengan
keperluan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama,
kepercayaan, ideology politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran
tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkung dalam cengkraman kedua kaki
Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana) Dewa Wishnu (Ma’arif A. Syafii,
2011).
Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu
Tantular, dapat diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di
zaman kejayaan Majapahit ini, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya,
semboyan tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa,
Negara dan bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era
global. Dan Kekawin Sutasoma yang semula dipersembahkan kepada Raja
Rajasanagara (Hayam Wuruk) adalah hasil perenungan dan kristalisasi pemikiran
yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun)
sedangkan Kekawain maksudnya adalah pembacaan
ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis Mpu Tantular sekitar
1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi pesannya bergulir dalam
proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’arif A. Syafii,
2011).
Dalam proses perumusan konstitusi
Indonesia, jasa Muh. Yamin harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali
mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti Negara. Muh. Yamin sebagai tokoh
kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal
yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made,
2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin
menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus
Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan
ungkapan itu dengan “tan hana dharma
mangrwa.” Sambungan spontan
ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari
orang (Prabaswara, I Made,
2003). Meskipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan
Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu
Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang
sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan
Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa
di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan
tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya
Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Buddha secara politik sudah sangat
melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii,
2011).
0 komentar:
Posting Komentar