Kamis, 15 Januari 2015


Berikut ini ada salah satu kisah tentang memaknai hidup yang mendasar, bermakna, dan cukup sederhana pula. Ya sudah langsung saja… kalau mau ngambil gak papa tapi diusahakan tetep cantumkan sumbernya ya…!
          

         Nidzam al Mahmudi tinggal di sebuah kampung terpencil. Istri dan anak-anaknya tinggal di gubuk kecil yang amat sederhana. Semua anaknya cerdas dan berpendidikan. Di balik itu, selain penduduk kampung  itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu, ia dapat menghidupi ratusan keluarga yang bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.

       Sakah seorang anaknya pernah bertanya, “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?”

“Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati gubuk kecil,” jawab sang sufi yang tidak terkenal itu.

       Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia hanya mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah SWT.”


           Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih lega. Ketiga, kami dulu Cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi ayah dan ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”

         Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang Ayah yang tampak lugu dan polo situ. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar.

        Kemudian anak itu lebih terkesima tatkala Ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun istana mewah, biayanya terlalu besar. Dan sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma atau gelandangan yang bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah Anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap makhluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”

        Melalui kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa untuk hidup bahagia dan terlepas dari pikiran-pikiran negative, kita tidak harus hidup bergelimang kemewahan tapi miskin makna. Sudah banyak contoh di sekitar kitakalau kekayaan yang tidak dimaknai  dengan baik hanya menimbulkan kehampaan dan  kekosongan hidup. Kebahagiaan sesungguhnya bisa kita rasakan ketika hidup kita penuh makna, meskipun kita hidup di tengah penderitaan.

0 komentar:

Posting Komentar